HUKUM SODOMI DALAM PANDANGAN ISLAM
Sumber :http://zainalabidinsyamsuddin.com/?p=247
Sungguh sangat memalukan dunia pendidikan yang dianggap tempat paling aman untuk sosialisasi anak, wahana pengodokan mental, penggemblengan anak dan pembinaan moral anak didik, ternyata menjadi sarang kejahatan dan menjadi tempat yang menakutkan anak dan menyeramkan orang tua yang ingin menyekolahkan putra putrinya.
Kasus di JIS merupakan cerminan dan pelajaran berat, betapa dunia pendidikan kita saat sekarang sangat memprihatinkan dan kwalitas guru yang sangat jauh dari harapan dan idealisme suatu proses pendidikan yang menekankan pembentukan karakter. Sebagai orang tua juga jangan sampai mencari sekolah untuk anak-anaknya hanya memandang karena paforitnya sekolah, bertaraf internasional atau sekolah asing. Padahal semua itu tidak bisa menjadi jaminan terlebih bila sekolah tersebut kurang bahkan tidak mengajarkan aqidah dan moral Islam.
Pada tulisan ini saya akan menjelaskan tentang hukum sodomi atau homoseksual dalam islam agar semua kaum muslimin terutama kalangan yang mengindap penyakit ini, agar sadar dan kembali ke jalan yang benar. Sementara orang tua yang menitipkan anak-anak di sekolah manapun baik Boarding dan Full day agar memiliki wawasan tentang hukum seputar perkara-perkara di bawah ini:
- 1. Hukum Perbuatan kaum Luth (homoseks)
Kejahatan ini termasuk kejahatan yang sangat besar, merusak akhlak, fitrah, agama dan dunia. Terhadap kejatahan ini Allah menimpakan hukuman yang amat keras. Kaum Luth dibinasakan Allah dengan dibenamkan ke dalam bumi dan menimpakan kepada mereka tanah yang terbakar sebagai balasan terhadap perbuatan kotor mereka, mengisahkan hal tersebut dalam Al Qur’an agar dibaca dan dijadikan pelajaran Dan (kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (ingatlah) tatkala Dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu[551], yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?”—Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.—Kemudian Kami selamatkan Dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; Dia Termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan).—Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.” (Al A’raaf: 80-84)
Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
من وجدتموه يعمل عمل قوم لوط ، فاقتلوا الفاعل والمفعول به
“Barangsiapa yang kamu dapatkan mengerjakan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah pelakunya dan orang yang dikenainya.”
Sedangkan dalam lafaz Nasa’i disebutkan:
لعن الله من عمل عمل قوم لوط . لعن الله من عمل عمل قوم لوط . لعن الله من عمل عمل قوم لوط
“Allah melaknat orang yang mengerjakan perbuatan kaum Luth. Allah melaknat orang yang mengerjakan perbuatan kaum Luth dan Allah melaknat orang yang mengerjakan perbuatan kaum Luth.”
Imam Syaukaani berkata: “Alangkah berhaknya pelaku kejahatan ini, orang yang mengerjakan perbuatan yang hina dan tercela ini disiksa dengan siksa yang bisa dijadikan pelajaran oleh orang yang mengambil pelajaran, disiksa dengan siksaan yang mematahkan syahwat orang-orang fasik dan durhaka. Alangkah berhaknya orang yang mengerjakan perbuatan keji kaum (Luth) yang belum pernah didahului oleh orang sebelum mereka merasakan siksaan yang sangat keras dan jelek seperti hukuman yang menimpa mereka (kaum Luth), Allah benamkan mereka ke dalam bumi dan mengikis habis dengan ’adzab itu orang yang masih muda dan sudah pernah menikah.”
Islam memperberat hukuman terhadap perbuatan liwath ini karena dampaknya yang buruk dan berbahaya yang antara lain:
- Tidak suka kepada wanita
- Merusak syaraf
- Merusak otak
- Menimbulkan berbagai penyakit
- Tidak dapat memuaskan nafsu secara sempurna
- Lemah jasmani
- Merusak akhlak
- Menimbulkan kemandulan
- Mengurangi jumlah manusia
Pendapat para fuqaha’ tentang hukuman pelaku liwath (homoseks)
Di samping semua ulama ijma’ terhadap hukuman liwath dan pelakunya harus dihukumi dengan keras, hanyasaja mereka berbeda pendapat tentang hukuman untuk pelakunya menjadi tiga madzhab:
- Madzhab yang berpendapat bahwa hukumannya adalah secara mutlak dibunuh.
- Madzhab yang berpendapat bahwa hukumannya adalah seperti hukuman zina, jika belum menikah didera dan jika sudah menikah dirajam.
- Madzhab yang berpendapat dita’zir.
Madzhab yang berpendapat bahwa hukumannya adalah secara mutlak dibunuh.
Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, An Naashir, Al Qaasim bin Ibrahim dan Imam Syafi’i dalam salah satu pendapatnya bahwa hadnya adalah dibunuh meskipun belum menikah, baik pelakunya maupun yang dikenakan perbuatan itu. Mereka berdalil dengan beberapa dalil berikut:
عن عكرمة عن ابن عباس قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” من وجدتموه يعمل عمل قوم لوط فاقتلوا الفاعل والمفعول به “
Dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang kalian dapatkan mengerjakan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah pelakunya dan orang yang dikenakannya.” (HR. Lima orang selain Nasa’i, Dalam Nailul Awthaar disebutkan, “Diriwayatkan juga oleh Hakim dan Baihaqi, Al hafizh berkata: “Para perawinya ditsiqahkan, hanysaja di sana ada perselisihan.”)
عن علي أنه رجم من عمل هذا العمل .
Dari Ali radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia merajam orang yang mengerjakan perbuatan tersebut (HR. Baihaqi, Imam Syafi’i berkata: “Berdasarkan ini kami berpendapat merajam orang yang melakukan perbuatan ini baik muhshan (sudah menikah) atau belum.”)
عن أبي بكر أنه جمع الناس في حق رجل ينكح كما ينكح النساء . فسأل أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ذلك فكان من أشدهم يومئذ قولا علي بن أبي طالب عليه السلام ، قال : ” هذا ذنب لم تعص به أمة من الامم ، إلا أمة واحدة ، صنع الله بها ما قد علمتم ، نرى أن نحرقه بالنار ” . فكتب أبو بكر إلى خالد بن الوليد يأمره أن يحرقه بالنار .
Dari Abu Bakar, bahwa ia mengumpulkan orang-orang dalam masalah laki-laki yang dinikahi sebagaimana wanita. Maka Abu Abu Bakar bertanya kepada para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal tersebut. Ketika itu orang yang paling keras pendapatnya adalah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Ini adalah dosa yang tidak dilakukan oleh suatu ummat pun selain satu ummat saja, yang terhadapnya Allah memberikan hukuman sebagaimana yang kalian ketahui. Kami memandang bahwa ia perlu dibakar dengan api.” Maka Abu Bakar menulis surat kepada Khaalid bin Al Walid memerintahkan kepadanya untuk membakar dengan api. (HR. Baihaqi, dalam isnadnya ada kemursalan)
Imam Syaukani menyimpulkan bahwa hadits-hadits tersebut jika dikumpulkan dapat dipakai hujjah. Namun mereka semua berbeda pendapat tentang cara membunuh pelakunya. Diriwayatkan dari Ali dan Abu Bakar bahwa orang tersebut dibunuh dengan pedang lalu dibakar karena besarnya maksiat yang dikerjakan. Umar dan Utsman berpendapat bahwa orang tersebut dilempar dari atas dindinf. Sedangkan Ibnu Abbas berpendapat bahwa orang tersebut dilempar dari atas bangunan yang tinggi suatu negeri. Al Baghawiy menukilkan dari Asy Sya’biy, Az Zuhriy, Malik, Ahmad dan Ishaq bahwa orang tersebut dirajam. Imam Tirmidzi menukilkan hal tersebut dari Malik, Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.
Ada riwayat dari An Nakha’iy bahwa kalau saja bisa pezina dirajam dua kali, tentu pelaku perbuatan kaum Luth dihukum begitu.
Al Mundziri berkata: “Orang yang melakukan perbuatan itu dibakar oleh Abu Bakar dan Ali, Abdullah bin Az Zubair dan Hisyam bin Abdul Malik.”
Hukuman Homoseksual
Sa’id bin Al Musayyib, ‘Athaa’ bin Abi Ribaah, Al Hasan, Qatadah , An Nakha’iy, Ats Tsauriy, Al Auzaa’iy, Abu Thaalib, Imam Yahya dan Imam Syafi’I dalam salah satu pendapatnya bahwa hadnya adalah seperti had zina. Jika belum menikah didera dan diasingkan, dan jika muhshan (sudah menikah) maka dirajam. Mereka beralasan dengan alasan berikut:
- Hal ini salah satu di antara macam perzinaan, karena memasukkan farji ke farji, sehingga pelaku liwath dan orang yang dikenakannya masuk ke dalam keumuman dalil tentang zina, di samping adanya hadits:
إذا أتى الرجل الرجل فهما زانيان
“Apabila seorang laki-laki mendatangi laki-laki, maka keduanya pezina.”
- Kalau pun tidak masuk ke dalam hukuman zina, namun hal tersebut bisa masuk ke dalam zina berdasarkan qiyas.
Madzhab yang berpendapat dita’zir
Abu Hanifah, Al Mu‘ayyid billah, Al Murtadha dan Imam Syafi’i dalam salah satu pendapatnya berpendapat bahwa pelaku liwath dita’zir, karena perbuatan tersebut bukan zina, sehingga tidak kena hukumnya.
Di antara madzhab-madzhab di atas, Imam Syaukaani merajihkan pendapat harus dibunuh dan melemahkan pendapat yang lain berdasarkan dalil-dalil di atas. Sedangkan terhadap madzhab kedua Imam Syaukaani berkata: “Sesungguhnya dalil-dalil yang menyebutkan dibunuhnya pelaku dan orang yang dikenakannya secara mutlak menjadi sebagai pentakhshis, karena umumnya dalil-dalil zina yang membedakan antara yang belum menikah dengan yang sudah dan mencakup juga perbuatan kaum Luth. Di samping itu membatalkan qias yang disebutkan jika seandainya tidak mencakup, karena qias tersebut menjadi faasidul ‘itibaar (tidak dianggap) sebagaimana yang telah tetap dalam Ushul[1].”
- 2. Hukum Lesbi
Sihaaq artinya wanita mendatangi wanita (lesbi). Hukumnya adalah haram berdasarkan kesepakatan para ulama. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لا ينظر الرجل إلى عورة الرجل ، ولا المرأة إلى عورة المرأة ، ولا يفضي الرجل إلى الرجل في ثوب واحد ، ولا تفضي المرأة إلى المرأة في الثوب الواحد
“Laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki, wanita tidak boleh melihat aurat wanita. Juga tidak boleh laki-laki mendatangi laki-laki dalam satu kain, demikian juga wanita mendatangi wanita dalam satu kain.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi)
Sihaaq adalah bersentuhan kulit tanpa memasukkan, terhadapanya ada hukuman ta’zir bukan had sebagaimana jika seorang laki-laki bersentuhan kulit dengan wanita (yang bukan mahramnya) tanpa memasukkan kelamin cukup dita’zir.
- 3. Hukum Onani
Istimna’ termasuk perbuatan yang tidak mencerminkan adab yang baik dan akhlak yang mulia. Para fuqaha’ berbeda pendapat tentang hukumnya. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa hukumnya haram secara mutlak, ada juga yang berpendapat haram dalam beberapa keadaan dan wajib dalam keadaan tertentu dan ada juga yang berpendapat bahwa hukumnya makruh.
Ulama yang berpendapat haram adalah ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Az Zaidiyyah. Alas an mereka hukumnya haram adalah karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala memerintahkan untuk menjaga kemaluan dalam berbagai keadaan kecuali kepada isteri dan budak yang dimiliki. Jika seorang melewati dua hal yang dibolehkan ini (isteri dan budak) dan melakukan istimna’, maka sama saja ia telah melampaui batas dari yang dihalalkan kepada yang diharamkan. Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,—Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.—Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Al Mu’minuun: 5-7)
Adapun ulama yang berpendapat haram saat beberapa kondisi dan wajib dalam kondisi tertentu, mereka adalah ulama madzhab Hanafi, mereka mengatakan, “Sesungguhnya istimna’ haram jika untuk menarik syahwat dan membangkitkannya dan tidak mengapa saat syahwat meninggi, dan ia tidak memiliki isteri atau budak wanita, lalu ia beristimna’ dengan maksudmeredamnya.”
Sedangkan ulama madzhab Hanbali berpendapat bahwa istimna’ hukumnya haram kecuali istimna’ karena khawatir jatuh ke dalam zina, maka tidak mengapa baginya atau pun jika khawatir kesehatannya sedangkan ia tidak memiliki isteri atau budak dan tidak sanggup menikah, maka tidak mengapa baginya.
Adapun Ibnu Hazm, ia berpendapat bahwa hukumnya makruh dan tidak berdosa, karena seseorang dibolehkan memegang kemaluannya dengan tangan kiri dengan kesepakatan ummat semuanya, jika hal demikian mubah, maka di sana tidak ada tambahan di atas mubah selain sengaja mengeluarkan mani, sehingga hal itu sama sekali secara asal tidak haram, berdasarkan firman Allah: “Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu.” (Al An’aam: 119)
Dan hal ini tidak dijelaskan kepada kita keharamannya, sehingga hal tersebut adalah halal berdasarkan firman Allah Ta’ala:
Yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (Al Baqarah: 29)
Ibnu Hazm berkata lagi: “Makruhnya istimna’ karena hal itu tidak termasuk akhlak yang mulia dan kelebihannya. Telah diriwayatkan kepada kita bahwa orang-orang membicarakan tentang istimna’ , lalu ada sebagian orang yang memakruhkannya dan sebagian lagi membolehkannya. Di antara ulama yang memakruhkannya adalah Ibnu Umar dan ‘Athaa’, dan ulama yang membolehkannya adalah Ibnu Abbas, Al Hasan dan sebagian tabi’in besar. Al Hasan berkata: “Mereka melakukannya dalam peperangan.” Mujahid berkata: “Orang-orang dahulu memerintahkan para pemudanya beronani untukk menjaga kehormatan mereka.”
Menurut pendapat yang kuat bahwa onani haram menurut pendapat imam Malik dan Imam Syaf’i berdasarkan firman Allah dalam Surat al-Mukminun.
- 4. Hukum Menyetubuhi binatang
Para ulama sepakat tentang haramnya mendatangi binatang. Namun mereka berbeda pendapat tentang hukuman orang yang mengerjakan hal itu. Telah diriwayatkan dari Jabir bin Zaid bahwa ia berkata: “Siapa yang mendatangi binatang, maka ditegakkan had terhadapnya.”
Telah diriwayatkan dari Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Jika ia sudah menikah maka dirajam.”
Sedangkan dari Al Hasan, bahwa perbuatan tersebut menududuki posisi zina.
Abu Hanifah, Malik dan Imam Syafi’i dalam salah satu pendapatnya, Al Mu’ayyid billah, An Naashir dan Imam Yahya berpendapat wajibnya orang tersebut dita’zir saja, karena hal itu bukan zina.
Sedangkan dalam pendapatnya yang lain Imam Syafi’i berpendapat bahwa orang tersebut dibunuh berdasarkan riwayat Amr bin Abi ‘Amr dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
من وقع على بهيمة فاقتلوه واقتلوا البهيمة
“Barangsiapa yang menyetubuhi binatang, maka bunuhlah dia dan bunuhlah binatangnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi, Tirmidzi berkata: “Kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Amr bin Abi Amr)
Tirmidzi dan Abu Dawud meriwayatkan dari hadits ‘Ashim dari Abu Raziin dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata: “Siapa yang mendatangi binatang, maka tidak ada hadnya.” Dan disebutkan bahwa itulah yang paling shahih.
Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
من وقع على ذات محرم فاقتلوه ، ومن وقع على بهيمة فاقتلوه واقتلوا البهيمة
“Barangsiapa yang menyetubuhi mahramnya, maka bunuhlah dia dan barangsiapa yang menyetubuhi binatang, maka bunuhlah dia dan binatangnya.”
Imam Syaukaani berkata: “Dalam hadits tersebut terdapat dalil bahwa binatang tersebut dibunuh, sebabnya adalah yang diriwayatkan oleh Abu dawud dan Nasa’i, bahwa dikatakan kepada Ibnu Abbas: “Mengapa binatang itu (dibunuh)? IBNu Abbas menjawab: “Menurutku Beliau tidak mengatakan begitu kecuali karena makruh dagingnya dimakan, dan hal itu telah diberlakukan.”
Telah diketahui sebelumnya bahwa ‘illatnya adalah “binatang ini telah dibuat begini dan begitu”. Ali dan Imam Syafi’i dalam salah satu pendapatnya berpendapat haramnya daging binatang yang disetubuhi dan binatang itu harus disembelih.
Sedangkan Al Qaasimiyyah dan ulama madzhab Syafi’I dalam salah satu pendapatnya, Abu hanifah dan Abu Yusuf berpendapat bahwa makruh memakan binatang itu sebagai makruh tanzih saja.
Dalam Al Bahr disebutkan: “Bahwa binatang tersebut disembelih meskipun tidak dimakan, agar tidak melahirkan anak yang jelek rupanya, sebagaimana ada riwayat bahwa seorang pengembala kambing mendatangi binatang, lalu binatang itu melahirkan anak yang jelek rupa.”
Imam Syaukaani juga berkata: “Adapun hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menyembelih hewan kecuali jika untuk dimakan, maka hadits tersebut umum yang telah ditakhshis oleh hadits bab ini.” (Nailul Awthaar Juz 7 hal. 900)
- 5. Hukum Pemerkosaan
Apabila wanita dipaksa berzina, maka tidak ada hadnya, karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman: Tetapi Barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. (Al Baqarah: 173)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
رفع عن أمتي الخطأ والنسيان ، وما استكرهوا عليه
“Telah diangkat dari ummatku kesalahan tidak sengaja, lupa dan dipaksa.”
Di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri ada wanita yang dipaksa berzina, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengenakan hukuman kepadanya.
Pernah juga ada seorang wanita yang datang menghadap Umar dan memberitahukan bahwa dirinya pernah meminta minum kepada seorang pengembala kambing, lalu pengembala itu enggan memberinya minum kecuali jika si wanita mau menyerahkan dirinya kepadanya, lalu si wanita pun mau melakukannya. Umar pun bertanya kepada Ali radhiyallahu ‘anhu: “Apa pendapatmu tentang dia?” Ali menjawab: “Sesungguhnya si wanita terpaksa”, maka Umar pun memberinya sesuatu dan meninggalkannya.
Sama saja apakah apakah terpaksa (yakni karena tedesak) –yakni dirinya sangat terpaksa-, maupun karena dipaksa akan diancam. Dalam hal ini tidak ada seorang pun ahli ilmu yang menyelisihinya, hanyasaja mereka berbeda pendapat tentang wajib tidaknya mahar untuk si wanita. Imam Malik dan Syafi’i berpendapat wajib mendapatkan mahar.
Imam Malik dalam Al Muwaththa’ meriwayatkan dari Ibnu Syihab bahwa Abdul Malik bin Marwan menetapkan tentang wanita yang mendapat musibah dipaksa berzina bahwa bagi laki-lakinya harus membayar mahar.
Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita itu tidak berhak mendapatkan mahar.
Sebab terjadinya khilaf adalah “Apakah mahar itu sebagai pengganti jima’ atau sebagai pemberian. Siapa yang berpendapat bahwa mahar tersebut sebagai ganti dari jima’, mewajibkan mahar dalam persetubuhan yang halal dan yang haram. Dan siapa yang berpendapat bahwa mahar tersebut sebagai pemberian saja yang Allah khususkan bagi para suami, maka tidak mewajibkan mahar. Dan pendapat Abu Hanifah lebih shahih.”
- 6. Hukum Keliru menyetubuhi Wanita
Apabila diserahkan kepada seorang laki-laki wanita yang bukan isterinya dan dikatakan kepada laki-laki tersebut, “Ini adalah isterimu”, ia pun kemudian menyetubuhinya karena mengira bahwa itu isterinya, maka tidak ada had terhadapnya dengan kesepakatan. Demikian juga jika tidak dikatakan kepadanya “Ini isterimu” atau mendapatkan di kasurnya seorang wanita yang dikiranya isterinya, lalu ia menyetubuhinya atau misalnya seorang laki-laki memanggil isterinya, namun ternyata yang datang yang lain, lalu dikiranya yang dipanggil itu isterinya, kemudian disetubuhinya maka tidak ada had terhadapnya.
Demikianlah hukum pada setiap kekeliruan dalam menyetubuhi yang mubah. Adapaun keliru dalam menyetubuhi yang haram, maka harus ditegakkan had. Sehingga jika seorang laki-laki memanggil wanita yang haram baginya, lalu yang datang selainnya, lalu ia menyetubuhi wanita yang dikiranya itu, maka ia terkena had.
Dan jika ia memanggil wanita yang haram baginya, ternyata yang datang isterinya, lalu ia menyetubuhinya dan dikiranya wanita itu orang lain, maka tidak ada hadnya meskipun ia berdosa karena sangkaannya.
- 7. Hukum Bersetubuh dalam pernikahan yang masih diperselisihkan
Tidak wajib had pada pernikahan yang masih diperselisihkan tentang sah tidaknya. Misalnya adalah nikah syighar, nikah tahlil (untuk menghalalkan), nikah syighar, nikah tanpa wali atau saksi, menikahi saudari saat masih menjalani masa ‘iddah thalaq ba’in saudarainya satunya lagi, menikah dengan isteri yang kelima dalam masa ‘iddah thalaq ba’in isteri yang keempat dan nikah mut’ah. Hal itu karena perbedaan pendapat di kalangan fuqaha’ tentang sah-tidaknya nikah ini dianggap sebagai syubhat dalam hal menyetubuhi, sedangkan had dapat ditolak berdasarkan syubhat berbeda dengan Azh Zhaahiriyyah, mereka berpendapat had harus ditegakkan pada persetubuhan/jima’ dalam nikah yang batal atau fasid.
- 8. Hukum Menyetubuhi dalam pernikahan yang batal
Setiap pernikahan yang telah disepakati batalnya, seperti menikah dengan isteri yang kelima dst. melebihi empat, atau menikahi wanita yang sudah menikah atau yang menjalani masa ‘iddah dari laki-laki lain atau menikah dengan wanita yang dithalaq tiga sebelum si wanita menikah dengan laki-laki lain. Maka jika dalam terjadi pernikahan dalam kondisi ini dan disetubuhinya/dijima’inya maka itu adalah zina yang mengharuskan had dan tidak dipandang meskipun diadakan ‘akad karena memang tidak ada pengaruh apa-apa.